Senin, 25 April 2011

Pengawasan dan Pertanggungjawaban APBN

Pengawasan dan Pertanggungjawaban APBN

Fungsi pengawasan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas fungsional baik  eksternal maupun internal pemerintah. Pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR. Sementara itu, pengawasan internal dilakukan oleh inspektorat jenderal/inspektorat utama pada masing-masing departemen/lembaga dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada semua departemen/lembaga (termasuk BUMN). Pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal tersebut di atas bersifat post audit.
Berdasarkan realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN dalam tahun anggaran berjalan, Menteri Keuangan menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN) dan diajukan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Selanjutnya RUU PAN tersebut disampaikan kepada BPK untuk diaudit. Presiden mengajukan RUU PAN yang telah diaudit oleh BPK tersebut kepada DPR paling lambat 15 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran bersangkutan.
Setelah DPR menyetujui RUU PAN tersebut, Presiden mengesahkan RUU PAN menjadi Undang-undang Perhitungan Anggaran (UU PAN).

Pelaksanaan Anggaran

Pelaksanaan Anggaran
Berdasarkan satuan 3, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Departemen/Lembaga membahas rincian pengeluaran rutin berdasarkan pedoman penyusunan DIK dan indeks satuan biaya yang disusun oleh tim interdep. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober sampai dengan Desember. Sedangkan untuk pengeluaran pembangunan, DJA, Bappenas, dan departemen teknis membahas rincian pengeluaran untuk tiap-tiap proyek. Hasil pembahasan tersebut didokumentasikan ke dalam dokumen-dokumen berikut:
1.    Dokumen Isian Kegiatan (DIK). DIK merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi untuk pengeluaran rutin pada masing-masing unit organisasi pada Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja pegawai dan non pegawai.
2.     Daftar Isian Proyek (DIP). DIP merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi untuk pengeluaran pembangunan untuk masing-masing proyek pada Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja modal dan penunjang.
3.    Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Rutin (SPAAR). SPAAR adalah dokumen yang menetapkan besaran alokasi anggaran rutin untuk setiap kantor/satuan kerja departemen teknis di daerah yang selanjutnya akan dibahas antara Kantor Wilayah DJA dan instansi vertikal Departemen/Lembaga untuk kemudian dituangkan dalam DIK.
4.    Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Pembangunan (SPAAP). SPAAP adalah dokumen yang menetapkan besaran alokasi anggaran pembangunan untuk setiap proyek/bagian proyek yang selanjutnya akan dibahas antara Kantor Wilayah DJA dengan ins-tansi vertikal/dinas untuk kemudian di-tuangkan dalam DIP.
5.    Surat Keputusan Otorisasi (SKO). SKO adalah dokumen otorisasi untuk penyediaan dana kepada Departemen, Lembaga, Pemerintah Daerah dan pihak lain yang berhak baik untuk rutin maupun pembangunan yang tidak dapat ditampung dengan DIK atau DIP. DIK/DIP/SKO disampaikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran kepada Departemen/Lembaga. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, Departemen/Lembaga melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan pihak ketiga. Tagihan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tersebut disampaikan kepada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Selanjutnya KPKN meneliti keabsahan tagihan-tagihan dimaksud dan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Untuk mengawasi pelaksanaan tugas KPKN tersebut, di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran terdapat Kantor Verifikasi Pelaksanaan Anggaran (KASIPA) yang bertanggung jawab untuk memverifikasi Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh KPKN. Dalam rangka melaksanakan manajemen kas dan untuk mencegah departemen/lembaga melakukan pengeluaran secara berlebihan pada awal periode tahun anggaran, Menteri Keuangan membatasi jumlah pengeluaran rutin untuk satu triwulan maksimal sama dengan seperempat dari jumlah alokasi dana yang tersedia. Sedangkan untuk belanja pembangunan, pencairan dana disesuaikan dengan tingkat kemajuan prestasi penyelesaian proyek.

Penyusunan dan Penetapan APBN

Penyusunan dan Penetapan APBN

Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu: (1) pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan pertengahan bulan Agustus dan (2) pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan bulan Agustus sampai dengan bulan Desember. Berikut ini diuraikan secara singkat kedua tahapan dalam proses penyusunan APBN tersebut.
Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR. Tahap ini diawali dengan beberapa kali pembahasan antara pemerintah dan DPR untuk menentukan mekanisme dan jadwal pembahasan APBN. Kegiatan dilanjutkan dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan budget exercise untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat antara Panitia Anggaran dengan Menteri Keuangan dengan atau tanpa Bappenas. Pada tahapan ini juga diadakan rapat komisi antara masing-masing komisi (Komisi I s.d IX) dengan mitra kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses finalisasi penyusunan RAPBN oleh Pemerintah.
Secara lebih rinci, tahapan ini bisa dijelaskan sebagai berikut: Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) atas nama Presiden mempunyai tanggung jawab dalam mengkoordinasikan Penyusunan APBN. Menteri Keuangan bertanggungjawab untuk
mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja rutin. Sementara itu Bappenas bersama-sama dengan Menteri Keuangan bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja pembangunan. Persiapan anggaran dimulai dengan assessment indikator fiskal makro oleh Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan. Selanjutnya Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas menerbitkan Surat Edaran agar departemen teknis mengajukan usulan anggaran rutin maupun pembangunan. Usulan anggaran rutin (Daftar Usulan Kegiatan, DUK) diajukan ke Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) pada bulan Juni. DUK tersebut lebih terfokus pada program costing dan perubahan harga. DJA dan departemen teknis mereview DUK tersebut dengan titik tekan pada costing ketimbang policy. Pada bulan Agustus, DJA menerbitkan pagu pengeluaran rutin sebagai dasar bagi departemen teknis untuk menyusun anggaran rutin lebih detil.
Sementara itu, usulan anggaran pembangunan diajukan oleh departemen teknis kepada DJA dan Bappenas. DJA dan Bappenas mereview usulan anggaran pembangunan tersebut berdasarkan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dan Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA). Menteri Keuangan memberikan pertimbangan mengenai pagu anggaran pembangunan sebagai dasar pembahasan antara DJA, Bappenas, dan departemen teknis. Selanjutnya pada bulan Agustus, Presiden mengajukan Nota Keuangan dan RAPBN kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.     
Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Tahapan ini dimulai dengan Pidato Presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara Menteri Keuangan dengan Panitia Anggaran, maupun antara komisi-komisi dengan departemeen/lembaga teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini adalah Undang-undang APBN yang disahkan oleh DPR. UU APBN kemudian dirinci ke dalam satuan 3. Satuan 3 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, Sektor, Sub Sektor, Program dan Proyek/Kegiatan. Apabila DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah tersebut, maka pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya. Hal itu berarti pengeluaran maksimum yang dapat dilakukan pemerintah harus sama dengan pengeluaran tahun lalu.

Pengertian dan Ruang Lingkup APBN

Pengertian dan Ruang Lingkup APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1.7, UU No. 17/2003). Merujuk Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun anggaran meliputi:
a. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
b. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
c. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004) Tahun anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan. Sejak tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun kalender sebagai tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11 UU No. 1/2004).
 Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU No. 17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya dapat membantu aktivitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Pendapatan Negara dan Hibah. Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan sistem penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada sistem penganggaran saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai bagian dari penerimaan. Dalam pengadministrasian penerimaan negara, departemen/lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Belanja Negara. Belanja negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah pusat
dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No. 17/2003 mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan provinsi Papua.
Defisit dan Surplus. Defisit atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus. Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
Pembiayaan. Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.

Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara

Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 (UU No. 17 Tahun 2003) tentang Keuangan Negara mengatur kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai berikut (Pasal 6):
·      Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.Kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud di sini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan penerimaan negara. Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.
·      Kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut:
a.       dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia.
b.       dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara. Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan.
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut juga diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Prinsip pembagian kekuasaan ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Selanjutnya, Pasal 7 UU No. 17 Tahun 2003 menegaskan bahwa:
1.  Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.
2. Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.
Sub-bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Tugas Menteri Keuangan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal meliputi (Pasal 8):
a.       menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro
b.       menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN
c.        mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran
d.       melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan
e.        melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang
f.       melaksanakan fungsi bendahara umum negara
g.       menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN
h.      melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
Sementara itu, menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya
b.       menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
c.       melaksanakan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya
d.      melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara
e.       mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Piutang yang dimaksud di sini adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. Utang yang dimaksud di sini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undangundang/keputusan pengadilan.
f.       mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya
g.      menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang dimaksud di sini adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
h.       melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah yang diserahkan oleh Presiden kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah (Pasal 10).
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, pejabat pengelola keuangan daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a.     menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD
b.     menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD
c.    melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
d.    melaksanakan fungsi bendahara umum daerah
e.    menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Adapun kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b.      menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
c.       melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya
d.      melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak
e.       mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya
f.       mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g.      menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
Sistem Administrasi Keuangan Negara
Menurut Stoner dan Winkel (1987), manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian kegiatan-kegiatan anggota-anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pengelolaan keuangan negara, fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian di bidang keuangan harus dilakukan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam pengelolaan keuangan negara, fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian merupakan suatu siklus yang dapat digambarkan sebagai berikut :

                                                                   
                                                                 Tujuan Bernegara

                                                      Planningg (SPPN UU 25/2004)

Controlling (UU 15/2004)      Partisipasi, Transparansi, Akuntabilitas       Organizing (UU 17/2003)

                                                       Actuating (SAKN UU 1/2004)

                                                           

Bidang Pengelolaan Keuangan Negara

Bidang Pengelolaan Keuangan Negara

Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik, penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi.
b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
c. Fungsi administrasi perpajakan.
d. Fungsi administrasi kepabeanan.
e. Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
f. Fungsi pengawasan keuangan. Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah

Ruang Lingkup Keuangan Negara

Ruang Lingkup Keuangan Negara

Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah

Asas dan Ketentuan Umum Keuangan Negara

Asas  dan Ketentuan Umum Keuangan Negara
Ketentuan Umum Pasal 3 menyebutkan poin-poin yang menjadi ketentuan umum keuangan negara sebagai berikut:
1.    Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan keuangan negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban.
2.    APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang
3.    APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah
4.    APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi  dan efektivitas perekonomian.Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
5.    Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN
6.    Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
7.    Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
8.    Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Selanjutnya, Pasal 4 dan Pasal 5 mengatur hal-hal sebagai berikut:
* Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (Pasal 4).
 * Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD adalah mata uang Rupiah, sedangkan penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai de- ngan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. (Pasal 5)
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:
 * akuntabilitas, berorientasi pada hasil
 * profesionalitas
 * proporsionalitas
 * keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
 * pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula untuk menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang keuangan negara, UU No. 17/2003 bukan hanya menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, tetapi juga dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sabtu, 23 April 2011

Pengelolaan Keuangan Negara

PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

            Sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa asas umum pengelolaan keuangan negara dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara tertib, taat, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar, Undang-undang tentang Keuangan Negara telah menjabarkan aturan pokok yang ditetapkan Undang- Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum dalam pengelolaan keuangan Negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialisasi maupun asas-asas sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang dan asas-asas umum yang berlaku secara universal. Begitu juga dengan pengelolaan keuangan negara, dimana sistem pengelolaan keuangan negara disusun secara berkesinambungan (sustainable) dan didasarkan pada:
1.      UUD 1945
2.      Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
3.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
4.      Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
5.      Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
6.      Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
7.      Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
8.      Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002
9.      PMK Nomor 134/PMK 06/2005 tentang Petunjuk Teknis Mekanisme Pembayaran Atas Beban APBN
10.  PMK Nomor 17/PMK 05/2010 tanggal 20 september 2010 tentang Penyelesaian Tagihan Atas Beban APBN pada Satuan Kerja
11.  PMK Nomor 104/PMK 02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
A.      Defenisi Keuangan Negara
Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
B.   Azas-azas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain : akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Penjelasan dari masing-masing azas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Azas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan dan harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR)
2.      Azas Universalitas (kelengkapan), memiliki batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara.
3.      Azas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya.
4.      Azas spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif artinya penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan, secara kuantitatif berarti jumlah yang sudah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui.
5.      Azas akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan dan kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.
6.      Azas profesionalitas mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional
7.      Azas proporsionalitas,pengalokasian anggaran dilakukan secara proporsional pada fungsi-fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang akan dicapai
8.      Azas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen
9.      Azas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C.      Tata Cara Pengelolaan Keuangan Negara
Keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat, efektif, efisien, transparan, dan bertanggung jawab, maksudnya :
·           Secara tertib maksudnya tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti.
·           Secara taat maksudnya keuangan negara harus disusun dengan berpedoman kepada peraturan dan perundang-undangan.
·           Secara efektif maksudnya adalah keuangan negara harus menghasilkan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan.
·           Secara efisien bermakna dalam pengelolaan keuangan negara diusahakan mencapai keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu.
·           Secara transparan bermakna masyarakat mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan.
·            Secara bertanggung jawab bermakna pejabat/ petugas yang terkait pengelolaan keuangan berkewajiban mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan negara tersebut.
D.      Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
E.       Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja /hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi. Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.

F.       Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
G.      Pelaksana APBN dan APBD
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya. Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah.
H.      Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.